Teori Psikososial Erik Erikson dan Aplikasinya
Bagi Pembinaan Orang Dewasa Tengah Baya di Gereja
(Pdt. Junihot M. Simanjuntak, M.Pd.K)
Pendahuluan
Salah satu aspek penting dalam pendidikan Kriten
saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai pembinaan orang dewasa
dalam konteks gereja. Kepentingan hal ini dinilai berdasarkan pergumulan yang
sering dihadapi oleh para pendidik Kristen di gereja dalam beberapa dekade
ini, dimana didapati kecilnya peran aktif dari warga jemaat dewasa
untuk ikut terlibat dalam program pembinaan orang dewasa. Berdasarkan
hasil penelitian Michael Harton, hal itu terjadi karena orang dewasa itu
sendiri merasa tidak menemukan kebutuhan mereka dalam pembinaan tersebut.[1] Ferris Jordan mengatakan bahwa
hal ini terjadi karena adanya salah pengertiaan tentang gambaran orang dewasa
itu sendiri.[2]
Les Steele menyatakan bahwa teori Erikson dapat
membantu kita memberi pertimbangan pendekatan bagi pendidikan Kristen.
Alasannya karena Erikson sendiri memberi apresiasi atas peran gereja sebagai
institusi di dalam budaya yang dapat membantu kita menyampaikan iman dan
harapan. Untuk itu teori Erikson dapat membantu kita memahami potensi orang
dewasa untuk bertumbuh ke arah iman dan pengharapan yang benar di dalam
Tuhan. [3]
Melihat peluang yang terbuka lebar dan kaya atas pemanfaatan teori
psikososial Erik Erikson dalam kepentingan pendidikan orang dewasa di gereja
maka saya mencoba membahas makalah yang berjudul ”Teori Psikososial Erik Erikson dan Aplikasinya bagi Pembinaan Orang
Dewasa Tengah Baya di Gereja”. Tujuannya supaya melalui pegembangan
teori Erikson ini, tugas pembinaan orang dewasa,secara khusus dalam lingkup
pembinaan orang dewasa usia tengah baya di gereja dapat berjalan lebih optimal,
efisien dan relevan, sehingga dapat memberi daya tarik dan minat yang besar
bagi orang dewasa itu sendiri untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan yang
telah di programkan oleh gereja. Setidaknya juga dapat memberi gambaran awal
bagi gereja dalam penyusunan program dan pengelolaan pembelajaran bagi orang
dewasa, sebagai warga jemaat yang merupakan bagian sentral dalam gereja
itu sendiri.
Untuk memenuhi maksud pembahasan tersebut, maka pertanyaan-pertanyaan
berikut akan dijadikan sebagai alat bantu penelitian literatur, yaitu:
Bagaimanakah sketsa biografi Erikson? Bagaimanakah gambaran teori
Erikson dalam pengembangan psikososial manusia? Apa yang dimaksud dengan
generatifitas dalam teori psikososial Erikson? Bagaimana mengaplikasi teori
generatifitas Erikson dalam pembinaan orang dewasa tengah baya di gereja?
Sketsa
Biografi Erikson
Pencarian identitas merupakan
fokus perhatian terbesar Erikson dalam kehidupan dan teorinya. Sebab Erikson dalam membentuk
teorinya, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini
mengenai pertumbuhan egonya.
Erik
Homburger Erikson dilahirkan di Frankurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902. Ayahnya adalah seorang laki-laki
berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan tidak mau mengaku
Erikson sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung
meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan
Yahudi. Saat Erikson berusia tiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang
dokter bernama Theodore Homburger, kemudian mereka pindah kedaerah Karlsruhe
di Jerman Selatan. Nama Erik Erikson dipakai pada tahun 1939 sebagai ganti
Erik Homburger.[4]
Pertama kalinya Erikson belajar
sebagai “child analyst” melalui sebuah tawaran dari Anna Freud di Vienna
Psycholoanalytic Institute selama kurun waktu kurang lebih tahun 1927-1933.
Kemudian pada tanggal 1 April 1930 Erikson menikah dengan Joan Serson,
seorang sosiologi Amerika yang sedang penelitian di Eropa. Pada tahun 1933
Erikson pindah ke Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan
psikoanalisa. Pada
tahun1939 Erikson pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara tersebut.[5]
Teori Erik Erikson Dalam Pengembangan Psikososial Manusia
Dalam
bukunya “Childhood and Society” (1963),
Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah
mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan
istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Kedelapan tahap perkembangan manusia dalam teori psikososial Erikson
tersebut adalah sebagai berikut:
Sebaliknya,
jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak
dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang
membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan
mereka sendiri, maka bayi akan mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan
selalu curiga kepada orang lain.
Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak
lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena
menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian. Anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi
pemalu dan ragu-ragu.
Orang
tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak
dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang
diperlukan di sini. Teguran
yang harus diberikan orangtua kepada anaknya harus “tegas namun toleran”, karena
dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga
diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki
fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini,
anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson
sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila
seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik,
karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness.
Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka
selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya
harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka
mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya
rasa malu dan ragu-ragu.
Ketidakpedulian
(ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini
terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu
minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu
apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau
karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang
menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan
demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode
mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah
akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition).
Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha
untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka
akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Tahap ini menunjukkan adanya pengembangan anak
terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun
berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat
diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini
dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di
sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan sikap rajin. Jika anak
tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
anak dapat mengembangkan sikap rendah diri. Sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangat penting
untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini. Kegagalan
di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak
yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar,
dan hal ini tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam
mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak
memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut
Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang
memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut
dengan kelembaman. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini adalah dengan
menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif
yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni
kompetensi.
Di sisi lain, jika kecenderungan identitas ego lebih kuat
dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan ruang
toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson
menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada
dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun
jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat
dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan
sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari
keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat. Mereka akan mencari identitas di tempat lain dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau
menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan
akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini,
jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara
seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup
berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala
kekurangan, kelemahan, dan ketidak konsistennya.
Oleh
sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan
seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks
teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengesampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan
lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak
hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua,
tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Harapan
yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara
generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik
yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan
otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara
baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan
para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa
memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta
memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga
hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan
baik dan menyenangkan.
Pengertian Generatifitas Teori Erikson
Generativitas adalah istilah
yang diberikan Erikson untuk usia dewasa tengah baya yang sedang
fokus memberikan perhatian untuk membangun dan membimbing generasi berikutnya.[6]
Dewasa
tengah baya ditandai
sikap mantap memilih teman hidup dan membangun keluarga. Dewasa tengah
menggunakan energy sesuai kemampuannya untuk menyesuaikan konsep diri dan
citra tubuh terhadap realita fisiologis dan perubahan pada penampilan fisik.
Generatifitas
adalah keinginan untuk merawat dan membimbing orang lain. Dewasa tengah dapat
mencapai generatifitas dengan anak-anaknya melalui bimbingan dalam interaksi
sosial dengan generasi berikutnya. Jika dewasa tengah gagal mencapai
generatifitas akan terjadi stagnasi. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian
yang berlebihan pada dirinya atau perilaku merusak anak-anaknya dan
masyarakat.
Generatifitas mencakup kesadaran bahwa "tak seorang pun di sini kecuali
kita." Dewasa tengah merasakan bahwa dia sekarang bertanggung jawab atas
dunia. Mereka menyadari akan dampak pribadinya di dunia dalam lingkup: pertama,
kontribusinya yang menuntut rasa
tanggungjawabnya. Kedua akuntabilitasnya, seperti contoh: "Saya bertanggung jawab atas apa yang telah saya lakukan", dan p
"Aku punya tanggung jawab atas apa yang telah saya ciptakan".
Kreativitas
dewasa awal
berbeda dengan generatifitas dewasa tengah baya. Generatifitas
tidak hanya sekedar produktif atau kreatif. Generatifitas melibatkan pengasuhan orang
lain. Dengan kata lain, produktivitas dan
kreativitas ditujukan ke arah perkembangan orang lain. Ekspresi
kreatif didominasi oleh apa yang diharapkan orang lain dan keinginan untuk
membuktikan kemampuan. Generatifitas
menyerap dorongan untuk
membuktikan diri sendiri dan mengekspresikan diri dalam kapasitas untuk menyatakan kemampuan diri sendiri.
Generatifitas adalah hal yang sangat penting
bagi laki-laki dan perempuan dewasa
tengah. Tugasnya memiliki
banyak bentuk. Lowenthal dalam penelitiannya, menemukan kebanyakan
perempuan mengalami peningkatan
ketidakpuasan perkawinan. Hal ini terjadi bukan karena masalah monopause, melainkan
karena masalah generatifitas. Jika perempuan hanya mampu memberi kontribusinya dalam hal keluarga, ia lebih cenderung untuk kecewa
oleh perubahan hidup. Baginya tantangannya adalah untuk menemukan daerah baru dan menyatkan energinya.[7]
Aplikasi Teori Generativitas Erikson
Dalam Pembinaan Orang Dewasa Tengah Baya Di Gereja
Setelah mendalami generatifitas dalam teori psikososial Erikson, dua
hal berikut dapat diaplikasikan dalam pembinaan orang dewasa tengah baya di
gereja, yaitu:
Pertama, gereja dapat menciptakan program-program
pembinaan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan jemaat dewasa tengah baya seperti
berikut:
a. Menyajikan
pembinaan yang otentik. Seperti menjawab krisis
yang sedang dialami dewasa usia tengah baya, sehingga
melalui pembinaan yang dirancang gereja, mereka dapat terbebas dari segala
bentuk kemunafikan, kepalsuan diri, keluar dari cinta akan diri sendiri,
menerima keberhasilan orang lain sebagai motivasi, dan lainnya. Dari
para pemimpin gereja dituntut kesetiaan sekalipun
itu dinilai sangat membosankan. Program diciptakan untuk tujuan menguji kesabaran.
Terkait dengan hal ini, gereja perlu mempromosikan keterbukaan
dalam hubungan kejemaatan. Materi diberikan
melalui acara mendengarkan pengalaman masing-masing anggota,
sehingga melalui hal tersebut mereka menyadari bahwa orang lain juga memiliki masalah dan perjuangan, dan mendengar bagaimana mereka telah menghadapinya. Gereja
perlu membina
kelompok-kelompok diskusi di
jemaat dewasa awal dengangkat topik masalah dan perasaan. Gereja harus menyadari betul bahwa pelayanan yang sejati tidak hanya datang dari hal-hal
yang menyenangkan, tetapi juga
datang dari semua momen, termasuk yang menyakitkan. Gereja yang otentik adalah gereja yang memiliki alasan alkitabiah yang baik untuk segala apa yang dilakukannya.
b. Menciptakan iklim kebebasan dalam kelas pembinaan. Hal ini sangat perlu bagi orang dewasa tengah
yang sedang berkembang. Doktrin-doktrin yang diajarkan dan khotbah-khotbah tidak
boleh disampaikan tanpa memberi ruang tanya-jawab, sebagai kesempatan yang
diberikan kepada mereka untuk mendapatkan penjelasan. Terkait dengan hal ini,
pembaharuan orang dewasa tengah baya dapat dibangun pula dengan mengajukan
kembali pertanyaan-pertanyaan lama yang tersimpan dalam diri mereka. Sasaran
yang dicapai melalui hal ini adalah, supaya mereka tumbuh menjadi lebih kuat
dalam iman.
Kebebasan pilihan topik
diskusi yang diciptakan dalam kelas pembinaan orang dewasa dapat menjadi
peluang motivasi. Untuk mencapai itu, mereka membutuhkan ruang untuk mengeksplorasinya dari gereja yang menawarkan pilihan dengan penuh rasa hormat, dari gereja yang memberi kebebasan untuk bertanya, dan dari
gereja yang memahami perbedaan
individu.
c. Memberi penekanan program pada
penuangan empati daripada memberi tekanan pada orang dewasa itu sendiri.
Richard Olson dalam
artikelnya “The Mid-Life Dropout” mengatakan: "Pada dasarnya, saya telah berdebat untuk
kepekaan dan dukungan dari kebutuhan hidup di tengah-tengah orang. Selama bertahun-tahun gereja telah menelan bakat,
waktu, energi, dan uang di tengah-tengah kehidupan orang. Gereja-gereja telah
melakukan ini dengan pengakuan yang akurat tentang berapa banyak orang-orang
ini harus memberi. Tapi orang ini juga memiliki kebutuhan - kebutuhan
yang terlalu sering kebutuhannya
diabaikan…" (Baptist
Leader 43, no. 3, Juni 1981, h. 32.)
Kedua, mengusung tema-tema teologi yang
mengakomodasi bidang-bidang kebutuhan (rohani, fisik, emosional, dan mental)
dalam program pembinaan orang dewasa tengah baya, seperti berikut ini:
a. Doktrin
kedewasaan dalam Kristus. Menurut
Alan B. Knox dalam artikelnya “Issues of Mid-life”, Orang dewasa
tengah meskipun banyak yang akrab dengan Alkitab dan memahami peran Roh Kudus dalam menghasilkan kedewasaan, namun mereka memiliki ketertarikan dalam
beberapa aspek yang lebih kompleks. Mereka
tidak menemukan diri
mereka dewasa karena mereka memiliki
banyak pertanyaan tentang bagaimana bertumbuh dalam iman Kristen. Mereka
mungkin akan terkejut dan malu serta mengecam kehidupan masa usia tengah baya mereka dan mereka
mempunyai pertanyaan tentang hal itu. Mereka biasanya meraba-raba beberapa kinerja sebagai standar yang digunakan untuk mengukur diri mereka sendiri. (dalam Programming for Adults Menghadapi Mid-Life
Change, 1979, hal. 125-26.)
b. Doktrin kasih karunia. Perasaan gagal dan rasa
bersalah dapat membuat orang dewasa tengah terjun kedalam kolam penyegaran
kasih karunia. Melalui ajaran kasih karunia mereka perlu untuk mendengarkan
firman Tuhan yang berbunyi: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu" (2
Korintus 12:9)
c. Teologi gereja. Hal ini perlukan untuk
memecahkan banyak konflik batin yang muncul dari perasaan kegagalan yang mereka
hadapi. Sehingga melalui doktin yang diajarkan ini mampu menyadarkan mereka
dan kembali terlibat dalam kepeduliaan terhadap masyarakat Kristen secara
khusus
d. Teologi masyarakat. Kesadaran
yang lebih luas tentang masyarakat
dan dunia akan membuat banyak orang dewasa tengah beralih
ke isu-isu sosial. Kebenaran Alkitab akan dibawa untuk mendukung rasa
tanggung jawab mereka dalam menghadapi kemelaratan
dunia,
perang, aborsi, dan sejumlah masalah sosial
lainnya
e. Teologi pengharapan. Kematian dan eskatologi adalah
tipu daya bagi orang dewasa tengah. Kehadiran
wahyu menjadi kebutuhan yang besar bagi orang dewasa tengah baya dan bukan
keingin tahuan yang bersifat sambilan atau keisengan belaka. Studi tentang hal-hal eskatologis, perlu disampaikan sebagai ruang yang
membuka pengetahuan mereka tentang kedaulatan Allah, sekalipun di dalamnya
berisi tentang berita akhir zaman yang destruktif, permukaan dunia yang kacau balau dan penuh dosa. Jika orang dewasa tengah mampu menemukan dirinya “di dunia gelap”, Tuhan akan menjadi cahaya bagi
jalan untuk membimbing mereka melalui semuanya
itu
Penutup
Banyak anggota gereja dewasa, tetapi partisipasi kehadiran mereka dalam ibadah lebih sedikit. Mereka duduk di bangku dan kemudian pergi, kurang memberi diri. Dan peran aktif mereka, bergerak ke arah stagnasi dan akhirnya putus asa. Sementara disisi lain, gereja berlimpah kesempatan untuk memberikan pelayanan kepada orang dewasa, untuk menerapkan karunia rohani
untuk kebutuhan duniawi, untuk partisipasi dan kebergunaan diri dalam Kerajaan Allah.
Generatifitas adalah inti dari pelayanan pengajaran gereja, di mana orang dewasa punya tanggung jawab besar untuk
menyampaikan kepada anak-anak prasekolah,
anak-anak, pemuda, dan orang dewasa muda tentang prinsip-prinsip hidup dalam Kristus.[8] Beberapa contoh generatifitas dapat kita
lihat melalui kesaksian hidup tokoh-tokoh Alkitab, seperti: Tuhan Yesus dan
rasul Paulus. Yesus memiliki integritas pada akhir hidup-Nya,
kemanusiaan-Nya
berbicara, Dia menghabiskan pelayanan-Nya dalam generatifitas aktif: memberikan diri-Nya pada
orang lain. Paulus
menghabiskan kehidupannya di kemudian hari tidak hanya
sebagai "hamba Kristus" (Roma 1:1), tetapi menjadikan dirinya
sebagai "budak untuk semua orang, untuk memenangkan sebanyak
mungkin" (1 Korintus 9:19). Dia menyerahkan dirinya kepada orang lain melalui pengajaran dan
pemberitaan, melalui pembinaan dan pelatihan gereja-gereja dan pendeta. Inilah yang disebut generatifitas Kristen.
|
http//www.theory of psychosocial development.com
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar